Kalian percaya kalau semua ada masanya, Baraya?
Saya meyakini betul kalimat tersebut. Akhir-akhir ini, saya mulai bisa merasakan kembali ritme hidup yang tidak lagi tergesa. Anak-anak sudah bersekolah, otomatis waktu untuk diri sendiri pun perlahan bertambah. Beberapa waktu lalu, saya sempat bertemu para sahabat di Garut Ramayana Fair. Saya juga punya lebih banyak waktu dengan pasangan. Kami bisa jalan kaki santai berjam-jam, hanya berdua. Seperti pagi itu, ketika kami menyusuri Tegal Malaka Garut.
Tegal Malaka. Sebuah destinasi yang belakangan viral di Kota Intan. Namanya mencuat seiring meningkatnya minat masyarakat pada gaya hidup sehat. Jalan kaki kembali digemari, mungkin karena murah meriah – asal tidak banyak jajan saja.
Entah siapa yang memulai, tiba-tiba Bukit Tegal Malaka menjadi tujuan baraya untuk jalan kaki santai. Teman-teman wali murid di sekolah si cikal pun sempat mengajak mendaki tipis-tipis ke bukit yang jaraknya tidak terlalu jauh dari pusat kota itu.
Sayangnya, waktu itu saya berhalangan ikut. Saya harus menjemput si bungsu pukul setengah satu, dan waktunya terlalu mepet. Jadilah saya merencanakan kunjungan ke tempat hits ini bersama suami, tentu jika ia tidak sedang merantau. Meskipun jalan dengan suami tetap harus menjemput selepas zuhur, berdua dengannya tak akan terlalu berabe. Ritme bisa disesuaikan – tak akan ada drama pulang duluan.
Pada hari yang ditentukan, kami berangkat ke Tegal Malaka Garut setelah mengantar si bungsu pukul setengah delapan. Menyenangkan rasanya berjalan tanpa buru-buru, meski akhirnya kami memang sedikit bergegas – waktu hampir menunjukkan setengah satu. Kami bahkan sempat naik angkot sekali demi tiba tepat waktu menjemput si bungsu.
Perjalanan Menuju Denyut Tersaput Sunyi di Tegal Malaka Garut
Kami menyeberang ke arah gapura Rancabogo. Tak jauh dari sana, berdiri gerobak gorengan dengan menu andalan: gehu legend, yang rasanya tak pernah berubah sejak dulu. Itu bukan sekadar tahu isi, setiap gigitannya menyimpan memori masa sekolah yang jam istirahatnya ditemani tepung gurih dan isian cabai rawit.
Setelah membeli gorengan sebagai perbekalan tambahan – karena sebelumnya saya sudah menyiapkan dua paket nasi ayam – kami mulai menyusuri gang demi gang yang dipenuhi rumah berderet hingga akhirnya keluar di jalan raya Otista.
Kami berjalan beriringan di tepi jalan beraspal. Tidak selalu berbincang, sesekali kami tenggelam dalam alam pikir masing-masing. Keramaian di sekitar seolah tak kuasa menembus benteng imajinasi yang kami bangun. Ada saatnya diam menjadi bahasa dan langkah menjadi jeda.
Cukup lama kami menapaki jalan yang ramai, hingga akhirnya tiba di pematang sawah yang permai. Sebelumnya, kami sempat ragu apakah bisa mencapai Bukit Tegal Malaka tepat waktu, sehingga saya menghubungi beberapa sahabat yang sudah pernah ke sana.
Mereka memberikan beberapa pilihan jalur ke Tegal Malaka. Ada yang bilang untuk mengambil jalur ke Balong Café, ada juga yang menyarankan ke belakang Hotel Harmoni. Saat itu, posisi kami ada di Pom Bensin Rancabango dan lebih dekat ke Balong Cafe.
Para sahabat bilang jalur tersebut lebih mendaki. Itu bukan masalah bagi kami, hanya waktu yang membuat bimbang. Jadi kami sepakat: jalan terus selagi bisa dan putar balik bila waktu memaksa.
Sesampainya di Balong Cafe, kami mengambil jalan di sebelah kanannya. Sesekali truk pengangkut pasir melintas di jalanan tanah yang masih basah. Makin jauh melangkah, makin jauh mendaki, makin erat kami berteman sunyi. Deretan warung mulai tampak di kejauhan – tanda kehidupan kecil di tengah lengang, sebuah denyut yang tersaput sunyi.
Sunyi yang Menyapa dari Puncak Tegal Malaka
Saya dan suami sempat mengambil jalan yang salah: jalur ATV, yakni lintasan khusus kendaraan kecil roda empat untuk wisata off-road. Medannya lebih terjal dan jelas bukan ditujukan bagi para pemburu sunyi. Sepatu suami bahkan sampai jebol ketika menapaki tanah berbatu itu.
Namanya juga cobaan, ya, Baraya – jadi dicobain saja. Kami terus berjalan sampai jalur ATV itu benar-benar habis. Saat itu, ada dua pengunjung berboncengan yang sedang menjajal ATV. Mereka pun putar arah setelah tahu lintasannya sudah mentok.
Berbeda dengan mereka, kami justru naik menapaki batuan besar sambil tertawa-tawa melihat kondisi sepatu suami yang makin jebol. Kami harus memilih batu mana yang aman dipijak dan mana yang bisa mengarahkan kami kembali ke jalur yang semestinya.
Setelah itu, kami turun dan mengambil jalur pejalan kaki. Sesekali kami berhenti untuk mengambil gambar secara bergiliran. Kami pun mencoba berfoto bersama dengan menggunakan timer dan batu sebagai pengganjal ponsel – kreativitas darurat khas pendaki amatir.
Jalanan sesudahnya dipenuhi ilalang yang bergoyang ditingkahi raja kelana. Bukit ini memang dekat dengan pusat kota, tetapi sunyinya seakan membawa kami ke negeri lain di dimensi berbeda. Deretan warung terlihat berdiri dengan pintu terbuka lebar, menandakan ada kehidupan, meski tak tampak manusia hilir mudik.
Kami menuju tempat duduk di tepi tebing. Dari sana, hamparan kota Garut terlihat begitu teduh, seakan terselimuti kabut tipis ketenangan. Saya membayangkan betapa memesonanya panorama itu saat matahari telah pulang ke peraduan – lampu kota berpijar bak gemintang yang turun memeluk malam kelam yang menjelang.
Di titik itu, sunyi tak lagi berarti sepi berbalut misteri, ia menjelma jeda yang dirindui. Jeda yang membuat kami menoleh ke belakang, pada jalan panjang yang baru saja kami lalui. Perjalanan itu mengingatkan kami bahwa yang paling terkenang sering kali bukan soal puncaknya, melainkan ikatan yang tumbuh dari sebuah kebersamaan.
Sudut Jeda yang Menghadap Langit Garut
Deretan warung yang berderet rapi seolah menjadi sudut jeda setelah beberapa jam berjalan kaki dan mendaki. Di pojok sunyi itu, kita bisa sekadar mengistirahatkan badan dan menikmati jajanan sambil bertukar cerita perjalanan melelahkan – juga menyenangkan itu.
Saya dan suami tak berhenti di sana karena perut yang belum terlalu lapar. Terlebih, saya sudah menyiapkan bekal. Sebelumnya, saya tidak tahu ada banyak warung di sana, jadi menyengajakan membawa amunisi pengganjal perut.
Saat kami terus berjalan melewati deretan warung, suasana kian terasa hening. Di antara denyut tersaput sunyi itu, ada sesuatu yang berbeda, kesunyian khas dataran tinggi – angin semilir, rumput yang bersyair, dan langkah kaki yang tiba-tiba terdengar lebih jelas dan menyihir.
Tak lama kemudian, kami menemukan tanah lapang yang menjadi sudut jeda lainnya – area camping. Suasananya senyap sekali, bahkan cenderung kosong. Tak ada tenda yang terlihat, tak ada percakapan yang terdengar, hanya hamparan tanah lapang yang seolah menunggu kisah baru untuk dituliskan.
Di kaca sebuah bangunan kecil tertera daftar harga penyewaan perlengkapan bermalam, tanda bahwa tempat ini biasanya hidup, meski saat itu ia memilih bungkam di bawah langit Garut.
Saya bergeming beberapa saat, menatap lurus ke depan sambil mereka-reka bagaimana suasananya ketika malam mendekap – gelap sekitar berhiaskan bintang berpijar, nyala lentera dari tenda, dan obrolan ringan diselingi tawa yang menghangatkan dinginnya udara pegunungan.
Pulang, Menyusun Keping Memori untuk Dikenang
Suami merupakan tipe pejalan kaki yang menyukai penjelajahan. Ia cenderung memilih rute sunyi, menyambangi perkampungan, atau mengeksplorasi jalan-jalan baru. Karena itu, saat hendak pulang, alih-alih berputar balik ke arah kedatangan, kami terus melangkah demi menemukan jalur lain.
Kami berjalan hingga ujung jalan besar yang tersambung dengan jalan setapak. Lama-kelamaan setapak itu pun hilang, digantikan semak liar yang jarang terinjak. Ada rasa waswas yang perlahan merayap, beruntung ada sekumpulan warga sekitar yang berbaik hati memandu.
Mereka memanggil, menunjukkan arah keluar, dan memastikan kami tak tersesat lebih jauh. Setelah kami mengucapkan terima kasih dan permisi – karena tampaknya kami sempat melewati pekarangan rumah seseorang – mereka kembali memanggil untuk membenarkan arah yang hampir saja kami salah pilih lagi.
Tidak lama kemudian, kami benar-benar keluar dari "hutan kecil" itu. Kehidupan terasa kembali nyata ketika deru kendaraan mulai terdengar. Beberapa langkah selanjutnya membawa kami ke jalan beraspal. Rasanya seperti kembali dari dimensi lain menuju peradaban.
Makin jauh melangkah, makin terasa bahwa perjalanan pulang itu akan segera mencapai ujungnya. Pemandangan di depan mata mulai terlihat akrab. Tanpa sadar, kami sampai di tempat wisata Pemandian Cipanas Garut, tepatnya di belakang Cipanas Indah.
Hampir semua orang Garut hapal betul tempat wisata itu. Cipanas adalah lokasi refreshing murah meriah, dekat dari mana-mana. Wisatawan luar kota pun banyak yang ke sana karena ingin menikmati kolam air panas, penginapan, dan hotel yang banyak ditemui di Cipanas.
Kami menyusuri jalan besar sambil tetap berada di jalur angkutan umum – jaga-jaga bila harus segera ke sekolah si bungsu, kami bisa langsung memberhentikan angkot. Di sebuah minimarket, kami memutuskan berhenti dan menyantap bekal yang sudah dibawa sejak berangkat.
Kami pun membeli sosis siap makan dan sebotol air mineral sebagai tambahan. Minimarket itu berubah menjadi sudut jeda versi kami. Sambil menikmati bekal, kami saling bercerita kembali tentang apa yang telah dilewati – tawa, salah jalur, ilalang, puncak, dan sunyi yang bersuara di kepala.
Selesai makan, kami beristirahat sejenak lalu kembali melangkah. Namun tentu saja, langkah itu tidak akan membawa kami sampai ke tujuan. Kami harus segera menjemput si bungsu. Pada akhirnya, kaki hanya mengantar kami sampai ke pinggir jalan – menunggu angkot yang perlahan mendekat, seolah menjadi titik akhir dari perjalanan yang diam-diam menyusun keping-keping kenangan baru.
Jejak yang Tertinggal, Rasa yang Dibawa Pulang
![]() |
| Bukit Tegal Malaka, Desa Rancabango, Kecamatan Tarogong Kaler, Kabupaten Garut, Jawa Barat, sekitar tiga kilometer dari Alun-Alun Tarogong |
Waktu berdua yang kini kembali seolah membangkitkan rasa-rasa yang sempat terkubur sepi. Ini bukan sekadar mendaki, melainkan menyadari dua langkah yang berjalan beriringan lagi. Bukan berarti tidak peduli pada hal di luar diri, hanya saja selalu ada yang mesti dirawat agar tetap bersemi.
Jika sudah sampai pada waktunya, kalian pun berhak atas sebuah jeda. Garut menyimpan keindahan di setiap sudutnya bila kalian ingin menjadikannya tempat mengisi ulang hati. Dan, perlu diingat: tujuan memang kerap memikat sekaligus membutakan, tetapi sejatinya perjalanan menuju – juga pulangnya – lah yang perlahan-lahan menyembuhkan.





Posting Komentar
Posting Komentar